Jumat, 21 Oktober 2011

ILMU SEBAGAI METODE MENDAPATKAN PENGETAHUAN (EPISTEMOLOGI) DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT BARAT DAN TIMUR (Suatu Kajian Singkat tentang Ilmu dan Islam)

BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang

Dikalangan ilmuwan ada keseragaman pendapat, bahwa ilmu itu selalu tersusun dari pengetahuan secara teratur, yang diperoleh dengan pangkal tumpuan (objek) tertentu dengan sistematis, metodis, rasional/ logis, empiris, umum, dan akumulatif. Pengertian pengetahuan sebagai istilah filsafat tidaklah sederhana karena bermacam-macam pandangan dan teori (epistemology), diantaranya pandangan Aristoteles, bahwa pengetahuan merupakan pengetahuan yang dapat diinderai dan dapat merangsang budi. Menurut Descartes ilmu pengetahuan merupakan serba budi; oleh Bacon dan David Hume diartikan sebagai pengalaman indera dan batin; menurut Immanuel Kant pengetahuan merupakan persatuan antara budi dan pengalaman; dan teori Phyroo mengatakan, bahwa tidak ada kepastian dalam pengetahuan. Dari berbagai macam pandangan tentang pengetahuan diperoleh sumber-sumber pengetahuan berupa ide, kenyataan, kegiatan akal budi, pengalaman, sintesis  budi, atau meragukan karena tak adanya sarana untuk mencapai pengetahuan yang pasti.
Untuk membuktikan isi pengetahuan itu benar, perlu berpangkal pada teori-teori kebenaran pengetahuan. Teori pertama bertitik tolak adanya hubungan dalil, dimana pengetahuan dianggap benar apabila dalai (proposisi) itu mempunyai hubungan dengan dalil (proposisi) yang terdahulu. Kedua, pengetahuan itu benar apabila ada kesesuaian dengan kenyataan. Teori ketiga menyatakan, bahwa pengetahuan itu benar apabila mempunyai konsekuensi praktis dalam diri yang mempunyai pengetahuan itu.
Banyaknya teori dan pendapat tentang pengetahuan dan kebenaran mengakibatkan suatu definisi ilmu pengetahuan mengalami kesulitan. Sebab, membuat suatu definisi dari definisi ilmu pengetahuan yang dikalangan  ilmuwan sendiri sudah ada keseragaman pendapat, hanya akan terperangkap dalam tautologies (pengulangan tanpa membuat kejelasan) dan pleonasme atau mubazir saja.
Pembentukan ilmu akan berhadapan dengan objek yang merupakan bahan dalam penelitian, meliputi objek material sebagai bahan yang menjadi tujuan penelitian bulat dan utuh. Serta objek formal, yaitu sudut pandang yang mengarah kepada persoalan yang menjadi pusat perhatian. Langkah-langkah dalam memperoleh ilmu dan objek ilmu meliputi rangkaian kegiatan dan tindakan. Dimulai dengan pengamatan, yaitu suatu kegiatan yang diarahkan kepada fakta yang mendukung apa yang dipirkan untuk sistemasi, kemudian mengolong-golongkan dan membuktikan dengan cara berpikir analitis, sintesis, induktif, dan deduktif. Yang terakhir ialah pengujian kesimpulan dengan menghadapkan fakta-fakta sebagai upaya mencari berbagai hal yang merupakan pengingkaran.
Dalam sejarahnya, terdapat pula filsafat Timur (Islam) yang sumber utamanya adalah wahyu dan memuat juga masalah ilmu sebagai bagian esensial ajaran Islam. Selain itu, perkembangan ilmu sepanjang peradaban manusia, juga  ditandai dengan gelobang pasat-surut, baik secara ontologis, epistemologis, maupun secara aksiologis.  Banyak Perdebatan ilmiah sejumlah aspek berkaitan dengan ilmu dari berbagai dimensinya itu.
Hal itu terlihat dengan adanya fenomena pencarian sumber kebenaran. Dalam konteks ini, misalnya, lahirlah istilah antroposentris, teosentris, dan kebanaran fisik dan metafisik. Posisi manusia sebagai makhluk berakal juga menjadi perdebatan. Bagi banyak ilmuan, mengklaim bahwa akal manusia menjadi sumber kebenaran atau pengetahuan dan menolak kebenaran metafisik. Hal ini terlihat penonjolannya pada filsafat modern (Barat). Sebaliknya, bagi kalangan ilmuan lainnya, terutama, dari kalangan ilmuan Timur (Islam) mengkalaim bahwa akal hanyalah sumber kebenaran secondary dan di atas semua sumber kebenaran yang diklaim oleh manusia, terdapat sumber kebenaran tertinggi atau puncak kebenaran. Itulah Kebenaran Tuhan (Wahyu).  Bahkan, misalnya, Al-Gazali, mengklaim bahwa pengetahuan yang didapatkan oleh akal hanyalah pengetahuan atau kebenaran nisbi.  Kebenaran transendental dan metafisik merupakan kebenaran yang absolut.
Akhirnya, klaim kebenaran termasuk posisi akal sebagai sumber pengetahuan bukan lagi menjadi perdebatan domain ilmiah an sich, tetapi sudah memasuki wilayah ruhaniah (keimanan).  Untuk itu, masih sangat relevan untuk di kaji eksistensi akal sebagai sumber pengetahuan dan cara bekerjanya. Tulisan ini akan mengurai secara singkat  tentang aspek epistemologi dalam perspektif Barat dan Timur (Islam) dan posisi akal dan cara bekerjanya khususnya menurut pandangan al-Quran.
B.     Rumusan Masalah

Bagaimana eksistensi Ilmu  sebagai metode mendapatkan pengetahuan (epistemologi) menurut filsafat Barat dan Timur dan posisi akal dan cara bekerjanya khususnya menurut pandangan al-Quran?






BAB II
PEMBAHASAN


A.     Deskripsi Umum tentang Epistemologi

Epistemologi disebut juga dengan filsafat ilmu, merupakan cabang filsafat yang mempelajari dan menentukan ruang lingkup pengetahuan. Epistemologi berusaha membahas bagaimana ilmu didapatkan, bukan untuk apa atau mengenai apa. Para filsuf aliran Sokratik, atau filsauf-filsuf pertama di Barat pada waktu itu belum memberikan perhatian terhadap filsafat pengetahuan. Dan bukan berarti mereka tidak peduli terhadap filsafat. Kehidupan filsafat di Barat makin menunjukkan kemajuannya. Aristoteles mengawali metafisikanya dengan pernyataan”setiap manusia dari kodratnya ingin tahu.” Aristoteles meyakini hal tersebut.Keyakinan tersebut tidak hanya untuk orang lain saja, tetapi juga untuk dirinya sendiri. Berbeda dengan Socrates, Socrates telah meniti karirnya sendiri dengan berdasarkan suatu pondasi yang berbeda, ia meyakini bahwa tidak seorang manusia pun mempunyai pengetahuan( Hardono Hadi,1994:13).
 Ada kemungkinan manusia tidak mempunyai pengetahuan karena tidak menggunakan inderanya untuk mengenali alam ini manusia akan mengetahui ketika ada rasa kagum. Ketika manusia tidak kagum , maka ia tidak akan pernah mengenal filsaafgat,karena pada dasarnya dari rasa kagumlah filsafat bermula. Rasa kagum sebenarnya bukan muncul dari sesuatu yang sulit, tetapi kekaguman muncul, sering muncul dan tampak sederhana dalam kehidupan manusia.
Manusia sering menganggap bahwa sesuatu yang kelihatan adalah dapat dipahami dengan benar dan seolah-olah ia telah mengetahui keberadaan benda dan materi tersebut secara mendalam. Anggapan manusia bahwa apa yang terlihat dan dilihatnya serta dikenalnya, belum tentau dapat dipahami hakekatanya, belum pasti manusia telah sampai kepada pengetahuan yang ia kenal. Dari sinilah nantinya ada peluang bagi epistemologi untuk menjelaskan kenapa manusia mengetahui, kenapa sesuatu itu menjadi seperti itu.
Epistemologi berusaha menjembatani manusia agar menyadari bahwa sebenarnya pengetahuannya adalah karena ketidaktahuannya. Pengetahuan itu dianggap sah dan benar ketika benar menurut pengetahuan tersebut. Terkadang manusia melakukan trial and error untuk mengetahui sesuatu, degan harapan akan mendapatkan kebenaran.
Bahkan, kalau diperhatikan ternyata pertanyaan-pertanyaan filosof sering muncul dalam kehidupan sehari-hari. Terkadang kalau ada orang bertanya tentang sesuatu yang sudah ada di anggap aneh, bahkanada kesan bahwa sesuatu yang hadir, dianggap telah diketahui keadaannya, padahal belum kenal dan tahu apa hakekat benda itu. Hal tersebut merupakan salah satu persoalan-persoalan pokok dalam epistemologi. Kekaguman merupakan awal munculnya epistemologi ( Hardono Hadi,1994:17).
Kemudian filsafat sebagai sebuah pembuka/ perintis terhadap ilmu-ilmu lain. Demikian juga dengan filsafat pengetahuan, filsafat pengetahuan dianggapluas atau sama luasnya dengan filsafat. Permasalahan anggapan umum/ akal sehat’common sense’.secara kesejarahan gerakan pemikiran reflektif yang mencapai titik kulminasi memunculkan masalah pengetahuan secara terpisah yang dapat ditelusuri secara analitis. Pada tahap awal proses sejarah dan analitis merupakan common sense menemukan dirinya  Manusia pada umumnya menyadari diri bahwa dirinya mempunyai pengetahuan, yang menurutunya pasti dan dianggap benar dan tidak boleh di remehkan.
Anggapan umum mneyadari bahwa manusia sering tertipu, kesalahan, kesalahan dalam menetukan jarak, warna, halusinasi, kesemua itu merupakan hal-hal yang umum terjadi. Tetapi yang perlu di sadari bahwa keyakinan-keyakinan umum dibentuk bukan dari kesalahan-kesalahan. Tetapi banyak manusia yang merasa lebih tenang dengan pandangan umum.
Pengetahuan berusaha memahami benda sebagaimana adanya, lalu akan timbul pertanyaan, bagaimana seseorang mengetahui kalau dirinya telah mencapai pengetahuan tentang benda sebagaimana adanya? Untuk menjawab apakah manusia telah tahu dengan pengetahuannya, maka epistemologi adalah jawabnya. Suatu pikiran tidak akan puas dengan pengetahuan-pengetahuan yang umum, pemikiran yang telah mencapai tingkat refleksi tidak dapat dipuaskan hanya dengan jaminan-jaminan umum. Kepastian yang dicari oleh epitemologi dalam mencari kebenaran apakah manusia sudah benar sesuai dengan tingkat pengetahuan dimungkinkan oleh suatu keraguan. Dengan keraguan inilah akan memberi kesempatan kepada epistemologi untuk menjawabnya.
Anggapan umum/akal sehat mempunyai peranan penting dalam usaha manusia untuk menemukan penjelasan tentang berbagai fenomena alam. Sebagaimana diketahui bahwa ilmu dan filsafat dimulai dengan akal sehat. Berbagai peradaban mempunyai berbagai kumpulan pengetahuan yang berupa akal sehat. Randall dan Buchler mendefinisikan akal sehat sebagai pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman secara tidak sengaja yang bersifat sporadis dan kebetulan (Jujun S.Suriasumantri, 2003:111). Pendapat Randall dan Buchler tersebut dalam satu sisi ada benarnya dan di sisi lain tidak dapat dibenarkan karena untuk mendapatkan akal sehat manusia ada kemungkinan mendapatkannnya dengan sadar dan disengaja. Jadi apabila tidak sengaja hanya dianggap sebagai pengetahuan akal sehat lalu pengetahuan yang dilakukan secara sadar dan sengaja tidak dikatakan sebagai akal sehat?
Ciri-ciri akal sehat menurut Titus adalah sebagai berikut, pertama karena landasannya yang berakar pada adat damn tradisi maka akal sehat cenderung untuk bersifat kebiasaan dan pengulangan. Kedua karen alasannya berakar kurang kuat maka akal sehat cenderung bersifat kabur dan samar-samar. Ketiga karena kesimpulannya ditarik berdasarkan asumsi yang tidak dikaji lebih dalam, maka pengetahuan akal sehat sekedar ilmu yang tidak teruji (Jujun S.Suriasumantri, 2003:111).  Dari penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa akal sehat ternyata tidak dapat dijadikan patokan dalam menentukan suatu kebenaran, akal sehat/anggapan umum ternyata tidak mampu memberi kesan dan kepuasan batin seseorang yang pada awalnya mereka yakin bahwa mereka telah tahu tentang sesuatu yang nyata, tetapi setelah di cermati dari pengetahuan yang didapatkan dari akal sehat, ternyata anggapan umum belum dapat dikatakan sebagai sebuah pengetahuan yang teruji.
Persoalan lain yang muncul tentang epistemologi adalah keraguan/ skeptisisme. Para pendukung skeptisisme keberatan terhadap pelaksanaan epistemologi, karena dianggap mengusulkan sesuatu yang tidak nyata dan bersifat khayal bagi diri sendiri. Posisi seorang skeptis absolut merupakan hal yang paling rapuh di dalam seluruh bidang filsafat. Menurut aliran skeptis absolut pikiran manusia tidak dapat mencapai kebenaran objektif ( Hardono Hadi,1994:19).
Usaha penyangkalannya terhadap penyangkalan merupakan ketidakkonsistenya. Keyakinannya terhadap penyangkalan keyakinan merupakan penyangkalan terhadap keyakinannya sendiri terhadap akal. Meskipun skeptis berusaha menghindar, tetapi kelompok ini secara implisit menunjukkan apa yang dinyatakannya secara eksplisit. Sebagai contoh mereka merasa puas dengan meragukan pikiran mampu menyentuh kenyataan.
Secara etimologis epistemologi berakar kata dari bahasa Yunaniepisteme yang mempunyai arti pengetahuan atau ilmu pengetahuan. Logos juga berarti pengetahuan  (Suparlan Supartono, 2005:157). Dari dua pengertian tersebut dapat dipahami bahwa epistemology adalah ilmu pengetahuan tentang pengetahuan. Dengan demikian dapat dipahami bahwa epistemology membicarakan dirinya sendiri, membedah lebih dalam tentang dirinya sendiri. Epistemology berhubungan dengan apa yang perlu diketahui dan bagaimana cara mengetahui pengetahuan. Lacey mengatakan bahwa epistemologi membahas tentang,”what can we know, and how do we know it,” (Suparlan Supartono, 2005:157). Sedangkan Qodri Azizy Epistemologi dikatakan sebagai filsafat ilmu. Lebih lanjut Azizi mengatakan epistemologi berkecenderungan berdiri sendiri. Ada juga yang menyatakan bahwa episteme berarti Knowledge atau science, sedangkan logos berarti the theory of the nature of knowing and the means by which we know.(A. Qodri Azizi, 2003:2). Dengan demikian epistemology atau teori pengetahuan didefinisikan sebagai cabang filsafat yang berhubungan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, praanggapan-anggapan dan dasar-dasarnya serta reliabilitas umum yang dapat untuk mengklaim sesuatu sebagai ilmu pengetahuan.
Pembicaran tentang epistemologi akan berkutat pada tataran apa yang dapat diketahui dan bagaimana cara mengetahui. Dengan demikian dalam pembahasan ini akan mengacu kepada beberapa teori tentang pengetahuan itu sendiri. Membahas epistemology tidak akan lepas dari berbagai teori tentang pengetahuan, meskipun dalam realitasnya banyak teori-teori tentang pengetahuan mempunyai perbedaan-perbedaan. Terjadinya perbedaan tersebut akibat adanya perbedaan metode, obyek, sistem dan tingkat kebenarannya yang berbeda.
Menurut Suparlan Suhartono perbedaan tersebut muncul akibat sudut pandang yang berbeda, metode yang bersumber dari rasionalisme dan empirisme.menurut Suparlan dari kedua metode tersebut yang lebih dapat dipercaya tergantung pada jenis dan sifat obyek studi. Sebagai contoh penganut empirisme lebih cenderung kepada teori korespondensi tentang kebenaran, sedangkan penganut rasionalisme identik dengan teori koherensi (Suparlan Supartono, 2005:157).
Dari kutipan tersebut dapat diambil pemikiran bahwa kedua aliran tersebut membicarakan tentang hakekat kebenaran, dikatakan membicarakan tentang kebenaran karena pada dasarnya semua pengetahuan membahas dan mempersoalkan kebenaran.
Amsal Bakhtiar menyatakan bahwa pada hakekatnya epistemeologi adalah berusaha membahas tentang pengetahuan, yang berhubungan dengan apa itu pengetahuan dan bagaimana memperoleh pengetahuan (Amtsal Bachtiar, 1997:37). Dari pendapat Amsal Bakhtiar tersebut memperjelas makna epistemology, yaitu sesuatu yang berhubungan dengan apa pengetahuan dan bagaimana memperoleh pengetahuan. Hal ini menunjukkan bahwa epistemologi berusaha membedah pengetahuan tentang dirinya sendiri dan berusaha mencari metode untuk mendapatkan pengetahuan. Mendapatkan pengetahuan berarti berhubungan dengan mengetahui, menurut Amsal Bakhtiar mengetahui sesuatu pada dasarnya adalah menyusun pendapat tentang suatu obyek dalam akal tentang sesuatu yang berada di luar akal.  Pendapat Amsal Bakhtiar (1997:37) merupakan duplikasi dari pendapat Aristoteles yang juga berpendapat seperti itu. Lebih lanjut Amsal menyatakan bahwa penyusunan dalam akal bisa jadi sama dengan fakta di luar akal dan bisa saja berbeda dengan yang diluar akal.Dengan kata lain, apakah gambaran dalam akal akan sama dengan realitas di luar akal. Hal ini akan merujuk kepada hakekat kebenaran.
Ada dua teori tentang kebenaran dan hakekat pengetahuan, dua teori tersebut adalah realisme yang mempunyai pandangan bahwa gambaran atau copy yang sebenarnya dari apa yang ada di alam nyata (dari fakta atau hakikat). Artinya apa yang digambarkan akal adalah sesuai dengan realitas di luar akal atau diri manusia. Dengan pendapat tersebut aliran realisme berpendapat bahwa pengetahuan dianggap benar ketika sesuai dengan kenyataan. Teori kedua tentang hakikat pengetahuan adalah idealisme. Idealisme meyakini bahwa untuk mendapatkan pengetahuan yang benar-benar sesuai dengan realitas adalah mustahil. Pengetahuan adalah proses mental/psikologis yang bersifat subyektif (Amtsal Bachtiar, 1997:37-39). 
Dengan demikian pengetahuan seorang idealis adalah bersifat subyektif.sedangkan menurut Suparlan Supartono (2005:163-164) teori kebenaran epistemologi dapat dibagi menjadi tiga yaitu, pertama, teori koherensi teori dibangun berdasarakan hakikat pribadi rasional ilmu pengetahuan, karena bersifat rasional, maka kebenaran ilmiah teoritis dipandang dalam ruang lingkup bertarafabstrak ideal. Ukuran kebenaran diukur berdasarkan tingkat rasional,sejauh dapat diterima oleh akal. Kedua, teori koresponden, teori ini dibangun berdasarkan hakikatempirik ilmu pengetahuan. Karena itu, kebenaran ilmiah teoritis dipandang dalam ruanag lingkup bertaraf konkret realistik. Ukuran kebenaran ditentukan dengan tingkat empirik, sejauh dapat dialami di dalam realita konkret, artinya kebenaran ada jika ada kesesuaian antara idea dengan pengalaman konkret. Ketiga, teori pragmatik, teori ini dibangun berdasarkan hakikat rasional maupun empirik ilmu pengetahuan. Kebenaran ilmiah teoritis dipandang dalam lingkupcdialektis rasional danempirik, akibatnya ukuran kebenaran bersatandardua dengan menekankan pada nilai kegunaan dan dapat dikerjakan/parktis.

B.     Epistemolgi dalam Perspektif  Filsafat Barat
Epistemologi dalam perspektif Barat, secara historis dan esensial, tidak dapat dipisahkan dengan wacana dan gerakan sekularisasi di Barat. Kata sekuler berasal dari bahasa Inggris yang berarti yang berarti bersifat duniawi, fana, temporal yang tidak bersifat spiritual, abadi dan sacral, kehidupan di luar biara, dan sebagainya (M.Sholihin:2007:244). Dari arti kamus tersebut sekuler dapat dipahami sebagai alur pemikiran yang membebaskan diri dari hal-hal yang bersifat religi dan berkecenderungan kepada hal-hal yang bersifat duniawi dan kebendaan. Harun Nasution mengatakan bahwa kata sekulerisme dan sekulerisasi berasal dari bahasa latin, saeculum yang berarti abad, sekuler berarti seabad. Seperti permainan yang terjadi sekali dalam seabad.
Sekuler mengandung arti sebagai hal yang bersifat duniawi, berarti segala kegiatannya, apakah dibidang pendidikan, pekerjaan, profesi dan lain sebagainya tidak ada hubungannya dengan agama. Segala akibat dan permasalahan yang mungkin timbul tidak ada sangkut pautnyadengan ajaran agama maupun kepercayaan yang bersifat spiritual.
B. Wilson mengatakan bahwa sekularisasi adalah cara hidup yang memisahkan agama dengan urusan Negara, sedangkan sekuleris adalah orang yang berpegang pada sekulerisme dan memparktekkan sekulerisasi dalam kehidupan berbagnsa dan bernegara (M.Sholihin:2007:245).
Dari uraian tersebut dapat dipahami bahwa kehidupan meliputi berbagai aspek kehidupan individu, masyarakat, berbangsa,bernegara, pendidikan dan sektor kehidupan lainnya. Sekulerisme berusaha membebaskan manusia dari pemikiran yang terkait dengan keagamaan dan metafisika. Pemikiran sekuler berusaha membebaskan manusia dari hal-hal yang bersifat ukhrowi dan memfokuskan diri kepada hal-hal yang bersifat duniawi dan materi belaka.
Pada awalnya ajaran sekuler lahir dari gerakan protes terhadap social dan politik. Istilah sekuler pertama kali diperkenalkan oleh George Jacub Holyoake pada tahun 1846 Masehi. Meskipun GJ. Holyoake pada awalnya mendapatka pendidikan keagamana, tetapi karena keadaan sosial politik pada waktu ia masih remaja telah merubah dirinya menjadi seorang yang sekuler sehingga akhirnya ia dijuluki sebagai bapak sekulerisme (M.Sholihin:2007:246). Dari uraian tersebut terindikasi bahwa seseorang yang agamis pun dapat menjadi orang yang sekuler sejati tatkala tidak mampu mengendalikan diri dan tidak mempunyai kesabaran dan keimanan yang kuat. Kesabaran dan keimanan yang kuat akan membentengi seseorang dari sekulerisme.
Sekularisme mengalami puncak kekestriman pada pemikiran materialisme historis. Kemudian pada masa sekuleris memoderat agama dianggap sebagai masalah pribadi.[40] Dari kutipan tersebut tergambar bahwa sekulerisme erat kaitannya dengan materialisme dalam dunia filsafat. Dalam pandangan filsafat sekuler prinsip moralitas alamiah, bebas dari wahyu dan supranatural harus dienyahkan dari pemikiran manusia, pemikiran sekuler harus mengedepankan pengetahuan yang berdsarkan kebenaran ilmiah, kebenaran yang bersifat sekuler tanpa ada hubungannya dengan agam maupun metafisika.
Sekularisme lahir dari sebuah pertentangan antara ilmu dan agama kristen. Ilmu mengedepankan independensinya yang mutlak, sehingga bersifat sekuler. Kebenaran ilmiah yang diperoleh melalui metode ilmiah telah meghasilkan kemajuan kemajuan ilmu-ilmu sekuler seperti matematika, fisika, dan kimia telah berhasil membawa kemajuan bagi kehidupan manusia (M.Sholihin:2007:248). Anggapan ini terdapat kelemahan karena nafikan aspek kemanusiaan dan nilai moral religi. Dengan ladsan ilmiah dan akal mereka mengusulkan agar kebenaran ilmiah menjadi dasar darietika bukan etika yang menjadi dasar ilmiah.pemikiransekuler sangat anti terhadapagama dan lebih mengedepankan aspek rasio dan kecerdasan,berdasarkan prisnsip kemampuan rasio dan kecerdasan mereka menganggap bahwa ilmu pengetahuan mampu mengajarkan aturan-aturan yang berkenaan dengan kebahagiaan. Ilmu menurut paham sekulerisme mampu menghilangkan kebejatan moral dan menghilangkan kemiskinan (M.Sholihin:2007:249).  Keyakinan bahwa ilmu pengetahuan dapat menghasilkan kebahagiaan, situasi yang mapan dan banyaknya materi dapat menghilangan kebejatan moral dan menghilangkan kemiskinan adalah suatu kebohongan dan sesuatu prinsip yang tidak dapat dipertangungjawabkan secara ilmiah. Dari pendapat mereka sebenarnya paham sekulerisme telah membantah dirinya sendiri. Apakah mungkin kemapanan dan banyaknya materi dapat menghilangkan kemiskinan dan kebejatan moral? Apakah dapat dibuktikan bahwa ilmu mampu membuat prinsip yang mampu membuat situasi yang mapan dan berkecukupan materi sehingga dapat meghilangkan kemiskinan dan kebejatan moral?
Apakah suatu yang mungkin dan masuk akal, ketika pemuja ilmu sekuler menyatakan akan mampu menciptakan kebaikan dan keluhuran moral dengan ilmu yang mereka miliki, ilmu yang secara-terang-terangan melepaskan diri dari agama? apakah ilmu yang bebas nilai akan dapat memberi kebenaran hakiki? Dalam konsep Barat/ sekuler ilmu berhubungan dengan masalah empiri sensula’induktif’, empiri logik ’deduktif. Dalam konsep Barat sesuatu dapat dijadikan ilmu dan dianggap ilmu kalau sudah terbukti secara empiris.
Menurut aliran rasionalisme kebenaran dapat dikatakan benar jika sesuai dengan kenyataan, jadi sesuatu yang dianggap benar harus sesuai dengan kenyataan ataudapat dibyktikan, kalau sesuatu itu tiudak dapat lihat secara nyata maka hal tersebut tidak dianggap benar karena tidak sesuai dengan kenyataan. Aliran ini juga berpendapat bahwa pengalaman dan pengamatan bukan jaminan untuk mendapatkan kebenaran (M.Sholihin:2007:148).
Para rasionalisme berprinsip bahwa sumber pengetahuan adalah akal budi. Akal budi akan mampu menemukan kebenaran dan pengetahuan yang kan secara terus menrus mencari kebenaran hingga ke akar permasalahan. Aliran ini berusaha menghilangkan aspek pengamatan inderawi sebagai alat untuk mendapatkan kebenaran, tetapi mereka lebih mengunggulkan akal untuk mencapai kebenaran dan pengetahuan.
Tetapi pencarian kebenaran dengan metode rasional menurut Jujun S. Suriasumantri (2003:112) pemikiran rasionalisme dengan deduktifnya menghasilkan kesimpulan yang benar bila ditinjau dari sisi alur logika, tetapi sangat bertentangan kenyataan yang sebenarnya.  Dengan demikian metode rasional dalammencari kebenaran mempunyai kelemahan.
Epistemologi sains dalam pandangan sekuler mencoba mencari kebenaran dengan metode ilmiah. Metode ini dianggap valid dalam menemukan kebenaran.dengan metode ilmiah mereka mendapatkan ilmu. Ilmu dapat dikatakan sebagai ilmu kalau telah memenuhi metode ilmiah. Pengetahaun dapat dikatakan sebagai ilmu jika telah memenuhi kaidah ilmiah. Metode ilmiah merupakan ekspresi mengenai cara kerja pikiran. Sehingga nantinya akan menghasilkan pengetahuan yang memenuhi syarat-syarat ilmiah. Metode ilmiah berusaha menggabungkan cara berfiir deduktif dan induktif (Jujun S. Suriasumantri, 2003:119-120). Dari kutipan tersebut dapat dipahami bahwa metode ilmiah menggabungkan pemikiran deduktif dan induktif. Penalaran deduktif mengacu kepada rasionalisme sedangkan induktif mengacu kepada empirisme.
Untuk lebih memperjelas uaraian tersebut akan dipaparkan lebih lanjut sebagai berikut: aliran rasionalisme menyatakan bahwa akal adalah dasar kepastian pengetahuan, pengetahuan yang benar dapat diperoleh dan diukur dengan akal manusia. Dengan akal manusia dapat memperoleh pengetahuan dan kebenaran.
Aliran rasionalisme tidak mengingkari kegunaan indra dalam memperoleh pengetahuan, menurut aliran ini indra diperlukan untuk merangsang akal manusia dan memberi bahan-bahan yang menyebabkan akal dapat bekerja dengan baik. Tetapi menurut aliran ini akal dapat menyampaikan manusia kepada kebenaran. Menurut aliran ini keputusan-keputusan tentang kebenaran yang rasional dan dapat dibuktikan dengan konsistensi logis proposisi-proposisi kebenaran tersebut, atau apa yang dikatakan sesuai dengan kenyataan maka itu dianggap sebagai kebenaran (M.Sholihin:2007:157).
Dari penjelasan tersebut memungkinkan seseorang mendewa-dewakan akal sebagai puncak dari kepercayaannya terhadap otoritas akal. Tidak itu saja, manusia yang terjebak kepada pendewaan akal akan terjerumus untuk melakukan kesyirikan, ketidak percayaan terhadap kekuasaan Allah, terutaam kebenaran wahyu. Artinya adalah wahyu bisa jadi tidak penting bagi penganut rasionalisme karena akal sudah cukup untuk mengetahui kebenaran dan pengetahuan.
Rasionalisme beranggapan bahwa pengalaman atau pengamatan bukan jaminan untuk mendapatkan kebenaran. Karenamenurut mereka realitas yang dapat dicapai validitasnya dapat dicapai tanpa bantuan dari empirisme. Sebagai argumen mereka adalah dengen menerapkan pola pikir deduksi dan intuisi. Yang kedua pola pemikiran tersebut tidak memerlukan metode empirisme.
Rasionalisme juga berprinsip bahwa sumber pengetahuan berasal dari akal budi. Rasionalitas yang dipunyai manusia akan menalar, menemukan sumber-sumber ilmu pengetahuan baru, dan menggagas kebenaran yang berasal dari rasio dan akal budi.
Empirisme berarti pengelaman indrawi. Aliran ini mempercayai bahwa indrawi manusia sebagai sumber utama pengenalan, baik pengalaman lahiriah yang berhubungan dengan dunia dan pengalaman batiniah yang berhubungan dengan pribadi manusia (M.Sholihin:2007:157).
Penjelasan tersebut menggambarkan bahwa indra manusia adalah sumber pengetahuan manusia, baik jasmani maupun rohani. Dengan demikian manusia mempunyai kemampuan untuk mendapatkan ilmu dengan indra yang dipunyainya, tidak harus dengan wahyu, keyakinan seperti ini akan mungkin terjadi ketika seseorang mengikuti pola pemikiran aliran empirisme. Karen mereka beranggapan pengalaman adalah guru yang terbaik untuk mendapatkan pengetahuan dan kebenaran.
Penganut empirisme akan mendapatkan pengetahuan tentang dunia berdasarkan apa yang telah diserap oleh indera. Aristoteles merumuskan bahwa tidaka ada sesuatu dalam pikiran, kecuali yang sebelumnya telah diserap oleh indra (M.Sholihin:2007:160). Dari pendapat Aristoteles tersebut menyiratkan bahwa manusia tidak mengetahui apapun sebelum indra mereka menyerap sesuatu dari luar dirinya. Dalam arti ketika manusia belum memfungsikan indranya dengan baik maka selama itu manusia tidak berpengetahuan.
Pendapat Aristoleles tersebut juga dianut oleh Joh Locke, Locke menyatakan bahwa semua pikiran dan gagasan manusia berasal dari sesuatu yang telah didapat sebelumnya. Jadi sebelum indra manusia berfungsi dengan baik dalam arti belum merasakan sesuatu maka pikiran manusia seperti tabularasa ’kertas kosong’ (M.Sholihin:2007:161).
Pendapat Locke tersebut memperkuat pendapat Aristoteles, dengan anggapan tersebut dapat dipahami bahwa ketika manusia berhenti menggunakan indranya maka pengetahuannya tidak akan bertambah, seperti ketika manusia tertidur, maka dalam keadaan tersebut manusia tidak mendapatkan pengetahuan.
Dalam pandangan sekuler pengetahuan berawal dari keraguan, dengan keraguan tersebut manusia berusaha membangun sebuah pengetahuan, yang mereka teliti dengan kerangak berfikir ilmiah, dengan pola deduktif maupun induktif.

C.     Epistemologi menurut Filsafat Timur (Islam)
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa epistemology adalah bagaimana mengetahui pengetahuan. Islam menganjurkan bahkan mewajibkan umatnya untuk menuntut ilmu, Nabi Muhammad Saw mengatakan bahwa menuntut ilmu adalah wajib bagi muslim dan muslimat. Dalam hadisnya yang lain Nabi Muhammad mengatakan bahwa menuntut ilmu itu dari ayunan sampai liang kubur. Dari perkataan Nabi Muhammad tadi dapat dipahami bahwa menuntut ilmu sangat penting bagi manusia. Dalam Al-Quran dinyatakan bahwa Allah akan meninggikan derajat orang yang yakin dan berilmu,” Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majlis”, Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu”, Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan (QS,Al-Maidah:11).  Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa menuntut ilmu penting bagi manusia, karena dapat meningkatkan derajat manusia di sisi Allah Swt dan di sisi manusia.
Dalam hadis yang lain Nabi Muhammad Saw menyatakan bahwa kalau manusia ingin bahagia di dunia maka harus dengan ilmu, kemudian siapa yang ingin bahagia di akherat harus dengan ilmu, selanjutnya kalau manusia ingin bahagia dunia dan akherat maka dengan ilmu. Dari pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa ilmu akan mendukung manusia menuju kebahagiaan dunia dan akherat. Kebahagiaan hakiki akibat ilmu ditentukan bvenar tidaknya manusia dalam mencari kebenaran.
Kebenaran tersebut bermula ketika manusia mampu membaca-tanda-tanda kekuasaan Allah. Di antara sarana untuk mengenal kebenaran adalah dengan membaca dan menulis. Membaca dan menulis yang didasarkan kepada wahyu Allah/Al-Quran.dengan membaca manusia akan mempunyai ilmu pengetahuan. Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan. Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya (QS.Al’Alaq:1-5).  Ayat tersebut menganjurkan kepada manusia untuk banyak membaca, apakah membaca yang tersurat maupun membaca yang tersirat. Tujuan dari pembacaan terhadap tanda-tanda/ayat-ayat Allah yang tersurat maupun yang tersirat bertujuan agar manusia mendapatkan kebenaran, mendapatkan ilmu pengetahuan. Ketika manusia mendapatkan pengetahuan maka manusia akan mendapatkan kemuliaan, garansi kemuliaan ini hanya bagi manusia yang yakin kepada Allah dan yang sekaligus mempunyai ilmu.
Al-Quran menyatakan bahwa tidak sama antara orang yang berilmu pengetahuan dengan yang tidak berilmu pengetahuan,” (apakah kamu Hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran” (QS.Azzumar:9). Dalam ayat tersebut juga dinyatakan bahwa hanya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran. Artinya adalah manusia yang berakal akan mendapatkan pelajaran dan ilmu pengetahuan. Bahkan hanya orang yang berakallah yang dapat memahami ayat-ayat Allah.
Dalam ayat lain Allah menyatakan, Dan perumpamaan-perumpamaan Ini kami buat untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu (QS. Al Ankabut:43).  Dengan demikian orang yang berilmu akan mendapatkan pemahaman dari ayat-ayat Allah. Pemahaman orang-orang berilmu akan menghasilkan kebenaran. Dan kebenaran yang paling dapat dipercaya adalah kebenaran wahyu Allah.
Islam memandang ilmu bukan terbatas pada eksperimental, tetapi lebih dari itu ilmu dalam pandangan Islam mengacu kepada aspek sebagai berikut pertama, metafisika yang dibawa oleh wahyu yang mengungkap realitas yang Agung, menjawab pertanyaan abadi, yaitu dari mana, kemana dan bagimana. Dengan menjawab pertanyaan tersebut manusia akan mengetahui landasan berpijak dan memahami akan Tuhannya. Kedua, aspek humaniora dan studi studi yang berkaitannya yang meliputi pembahasan mengenai kehidupan manusia, hubungannya dengan dimensi ruang dan waktu, psikologi, sosiologi, ekonomi dan lain sebagainya. Ketiga aspek material, yang termasuk dalam aspek ini adalah alam raya, ilmu yang dibangun berdasarkan observasi, eksperimen, seperti dengan uji coba di laboratorium (M.Zainuddin, 2006:53).
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa Islam tidak hanya menggunakan rasionalitas, empirisme saja dalam menemukan kebenaran, tetapi Islam menghargai dan menggunakan wahyu dan intuisi, ilham dalam mencari kebenaran. Kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana seharusnya menguburkan mayat saudaranya. Berkata Qabil: “Aduhai celaka aku, Mengapa Aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu Aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?” Karena itu jadilah dia seorang diantara orang-orang yang menyesal (QS.Al Maidah:31).
Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa untuk mendapatkan ilmu yang benar dapat muncul dari contoh-contoh dan fenomena alam yang sengaja Allah ciptakan agar manusia memperhatikan dan mengambil pelajaran. Bahkan, dalam Al-Quran dinyatakan bahwa akal saja tidak akan mampu mengambil kebenaran dari ayat-ayat Allah, untuk mencari kebenaran menurut Al-quran tidak dapat mengandalkan akal sebagi satu-satunya jalan untuk memperoleh kebenaran. Al-Quran menyatakan semau tanda-tanda /ayat-ayat Allah tidak ada gunanya keculai bagi mereka yang beriman. Dalam ayat lain Allah memberi dorongan kepada manusia untuk menggunakan inderanya agar mendapatkan pengetahuan dan kebenaran. Tidaklah kamu melihat bahwa Allah mengarak awan, Kemudian mengumpulkan antara (bagian-bagian)nya, Kemudian menjadikannya bertindih-tindih, Maka kelihatanlah olehmu hujan keluar dari celah-celahnya dan Allah (juga) menurunkan (butiran-butiran) es dari langit, (yaitu) dari (gumpalan-gumpalan awan seperti) gunung-gunung, Maka ditimpakan-Nya (butiran-butiran) es itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan dipalingkan-Nya dari siapa yang dikehendaki-Nya. Kilauan kilat awan itu hampir-hampir menghilangkan penglihatan (QS.An Nur:43).
Ayat tersebut mengindikasikan bahwatidak semua orang akan mendapatkan kebenaran, hal ini membuktikan bahwa meskipun manusia mempunyai akal tetapi dengan akalnya ia tidak serta merta mendapatkan kebenaran hakiki. Kalau tidak izin Allah dan kehendak Allah maka manusia tidak akan mendapatkan ilmu dan kebenaran. Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa Allah menganjurkan kepada manusia untuk menggunakan panca inderanya untuk memahami ayat-ayat/ tanda-tanda kekuasaan Allah. Dengan demikian panca indera merupakan jalan untuk mendapatkan ilmu dan kebenaran. ”Dia-lah, yang Telah menurunkan air hujan dari langit untuk kamu, sebahagiannya menjadi minuman dan sebahagiannya (menyuburkan) tumbuh-tumbuhan, yang pada (tempat tumbuhnya) kamu menggembalakan ternakmu. Dia menumbuhkan bagi kamu dengan air hujan itu tanam-tanaman; zaitun, korma, anggur dan segala macam buah-buahan. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memikirkan. Dan dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami (nya) (QS:An Nahl: 10-12).
Al-Quran menganjurkan kepada manusia untuk menggunakan akal untuk memperoleh pengetahuan, dengna berbagai fonomena akal manusia dapat memahami tanda-tanda kekuasaan Allah. Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada (QS.Al-Hajj:46).
Meskipun Islam menyuruh akal manusia untuk memahami, meneliti ayat-ayat Allah, tetai peran akal dalam eksperimen tidak sebebas-bebasnya. Dalam arti masih ada batas akhir dari kemampuan akal untuk m,encapai kebenaran. Ketika akal manusia tersbentur maka yang berlaku pada saat itu adalah keimanan terhadap wahyu Allah. Dengan demikian adanya anggapan bahwa eksperimen-eksperimen ilmiah sudah mencukupi untuk menemuklan kebenaran tentang adanya Tuhan, sudah cukup untuk menjadi sarana mengenal Tuhan. Padahal Allah mengatakan bahwa Al-Quran adalah sebuah kitab yang tidak ada keraguan di dalamnya dan merupakan petunjuk bagi orang –orang yang bertakwa. Yang membenarkan kitab-kitab yang diturunkan Allah sebelumnya,”Alif laam miin. Kitab (Al Quran) Ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa. (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang kami anugerahkan kepada mereka. Dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al Quran) yang Telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang Telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. Mereka Itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung (QS.Al Baqarah:1-5).
Pancaindera adalah alat bagi akal untuk mencerap pengetahuan. Akal akan sempurna ketika diperkaya oleh wawasan yang didapoatkan melalui indera. Dan di antara mereka ada orang yang mendengarkanmu. apakah kamu dapat menjadikan orang-orang tuli itu mendengar walaupun mereka tidak mengerti. Dan di antara mereka ada orang yang melihat kepadamu, apakah dapat kamu memberi petunjuk kepada orang-orang yang buta, walaupun mereka tidak dapat memperhatikan (QS. Yunus:42-43).
Pengetahuan yang bersifat inderawi dapaty dicerap secara inderawi, sedangkan pengetahuan yang bersifat non inderawi/metafisika hanya dapat diyakini dan dibenarkan dengan keimanan. Dan kepunyaan Allah-lah apa yang ghaib di langit dan di bumi dan kepada-Nya-lah dikembalikan urusan-urusan semuanya, Maka sembahlah Dia, dan bertawakkallah kepada-Nya. dan sekali-kali Tuhanmu tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan (QS.Hud:123). (Dia adalah Tuhan) yang mengetahui yang ghaib, Maka dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu (QS.Al Jin:26). Katakanlah: “Allah lebih mengetahui berapa lamanya mereka tinggal (di gua); kepunyaan-Nya-lah semua yang tersembunyi di langit dan di bumi. alangkah terang penglihatan-Nya dan alangkah tajam pendengaran-Nya; tak ada seorang pelindungpun bagi mereka selain dari pada-Nya; dan dia tidak mengambil seorangpun menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan keputusan” (QS.Al-Kahfi:26). Maha Suci Tuhan yang Telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui (QS.Yasin:36).
Ayat tersebut memberikan informasi bahwa ada pengetahuan yang mampu didapatkan oleh manusia, ada juga pengetahuan belum mampu diketahui oleh manusia. Tetapi semua pengetahuan itu telah disedaikan Allah untuk manusia, manusia tinggal mencari pengetahuan tersebut berdasarkan panca indera yang diberikan Allah serta dengan panduan wahyu yang telah Allah turunkan. Dengan demikian ada kemungkinan manusia mengetahui rahasi pengetahuan yang diberikan Allah, permasalahannya hanya terletak pada kemampuan manusia untuk menggunakan panca indera sebagai alat akal dan menggunakan wahyu sebagi sumber pengetahuan dan elemen dasar sebagai pijakan dalam melakukan penelitian dan eksperimen.
Eksperimen pun terbatas kepada pengetahuan bersifat fisika, sedangkan yang bersifat metafisika seprti surga, neraka, malaikat,azab kubur, iblis, mizan, shirat dan peristiwa hari kiamat itu adalah kajian wahyu dan hanya dapat diimani tidak dapat diakal-akali. Dalam arti tidak dapat diteliti dengan panca indera, tetapi hanyadapat diyakini kebenarannya. Islam mengakui adanya kemampua panca indera dan akal untuk mencapai pengetahuan dan kebenaran, tetapi Islam juga tidak menafikan kelemahan panca indera dan akal, di sisi lain, Islam mengakui adanya pengetahuan yang tidak didapatkan manusia melalui panca indera, tidak melalui perenungan, eksperimen, pengetahuan tersebut dapat diperoleh secara langsung tanpa adametode ilmiah, eksperimen, pengamatan dan lain sebagainya, pengetahuan langsung tersebut adalah wahyu. “Sesungguhnya kami Telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana kami Telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya, dan kami Telah memberikan wahyu (pula) kepada Ibrahim, Isma’il, Ishak, Ya’qub dan anak cucunya, Isa, Ayyub, Yunus, Harun dan Sulaiman. dan kami berikan Zabur kepada Daud.” (QS.An Nisa:163). Ayat tersebut menerangkan bahwa manusia dapat mempunyai ilmu pengetahuan tanpa adanya eksperimen, pengamatan, penalaran, tahap coba-coba maupun metode ilmiah, pengetahuan tersebut adalah pengetahuan yang langsung diberikan Allah kepada manusia.
”Dan tatkala mereka masuk menurut yang diperintahkan ayah mereka, Maka (cara yang mereka lakukan itu) tiadalah melepaskan mereka sedikitpun dari takdir Allah, akan tetapi itu Hanya suatu keinginan pada diri Ya’qub yang Telah ditetapkannya. dan Sesungguhnya dia mempunyai pengetahuan, Karena kami Telah mengajarkan kepadanya. akan tetapi kebanyakan manusia tiada Mengetahui.” (QS.Yusuf:68).
Ayat tersebut memberi gambaran bahwa Allah berhak memberi pengetahuan tanpa harus melakukan penelitian, tanpa eksperimen. Pengetahuan tersebut bersifat kewahyuan yang diberikan kepada manusia yang telah dipilih oleh Allah, dan kebenaran dari pengetahuan tersebut terjamin dari kesalahan. Dalam arti tidak ada semacam eksperimen, pengamatan. Pengetahuan seperti ini bersifat kebenaran hakiki.
Islam mengakui adanya pengetahaun yang didapat melalui mimpi yang benar. Mimpi dalam Islam dapat menjadi sumber pengetahuan, pengetahuan melalui mimpi tidak dapat dicari secara metode ilmiah, metode eksperimen, metode penelitian, maupun pengamatan.” Ya Tuhanku, Sesungguhnya Engkau Telah menganugerahkan kepadaku sebahagian kerajaan dan Telah mengajarkan kepadaku sebahagian ta’bir mimpi. (Ya Tuhan) Pencipta langit dan bumi. Engkaulah Pelindungku di dunia dan di akhirat, wafatkanlah Aku dalam keadaan Islam dan gabungkanlah Aku dengan orang-orang yang saleh.” (QS.Yusuf:101).
Pengetahuan dan kebenaran dalam Islam dapat diperoleh melalui ilham,”Dan (ingatlah), ketika Aku ilhamkan kepada pengikut Isa yang setia: “Berimanlah kamu kepada-Ku dan kepada rasul-Ku”. mereka menjawab: kami Telah beriman dan saksikanlah (wahai rasul) bahwa Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang patuh (kepada seruanmu)” (QS.Al Maidah:111).
Kebenaran dan pengetahuan dapat diperoleh manusia melalui ilham yang langsung diberikan Allah kepadamanusia yang telah dipilih-Nya. Hal ini menunjukkan bahwa dalam Islam pengetahuamn dan kebenaran tidak harus melalui metode ilmiah, penelitian, tetapi dapat langsung diperoleh manusia melalui ilham. Dalam ayat lain Allah juga memberi ilham kepada ibu Musa, “Dan kami ilhamkan kepada ibu Musa; “Susuilah Dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya Maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, Karena Sesungguhnya kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari para rasul.”(QS.Al Qashas:7).
Ayat tersebut secara jelas memberikan fakta bahwa pengetahuan dapat di peroleh manusia melalui ilham yang langsung diberikan Allah kepada manusia yang dikehendakinya. Dengan demikain dapat dipahamai bahwa epistemology dalam islam menyatukan akal dan mengarahkannya untuk mencapai pengetahuan dan kebenaran berdasarkan wahyu, keimanan kepada Allah. Islam mengakui kemampuan akal, panca indera, tetapi Islam juga memngakui ilham, mimpi dan wahyu sebagai sarana mendapatkan ilmu langsung dari Tuhan. Dan pengetahuan dan kebenaran yang didapatkan dari sarana tersebut tidak dapat diperoleh melalui metode ilmiah apapun.
Sebagai uaraian penutup pada poin ini, perlu sebagai dipahami bahwa pengetahuan dalam Islam berawal dari sebuah keyakinan/ premis keyakinan. Keyakinan akan kebenaran al-Quran sebagai sumber pengetahuan. Dikatakan al-Quransumberpengetahauan karena di antara fungsi al-Quran adalah sebagai petujuk dan pembeda antara yang hak dan yang batil. .
“ (beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur (QS.Al Baqarah:185).
Ayat tersebut secara jelas memberikan informasi bahwa al-Quran adalah sumber petunjuk kebaikan bagi manusia, penjelas tentang segalaseustau yang tidak dipahami oleh manusia. Penjelas tentang peristiwa masa lalu, masa yang akan datang dan masa metafisika/ akherat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Al-Quran adalah sumber pengetahuan bagi manusia,baik yangbersifat fisika maupun metafisika.
Islam sangat peduli terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, banyak ayat yang memberi motivasi agar manusia berusaha mencari ilmu dan menenliti, hal ini membuktikan bahwa kedudukan ilmu dlam Islam sangat diperhatikan dan diutamakan. Bahkan dalam ayat 11 surat al-Hujarat Allah berjanjai akan meningggikan orang yang beriman dan berilmu.
Agar manusia berilmu Allah memberi pengajaran, di natara ayat yang memberi sinyal pengajaran adalah sebagai berikut:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan. (QS.Al Baqarah:164)
Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa sumber dari pengetahuan dalam Islam adalah wahyu. Sedangkan, untuk mendapatkan ilmu tersebut adalah dengan mempergunakan panca indra dan akal yang kesemua kegiatan tersebut dikendalikan oleh iman dan wahyu.wahyau merupakan puncak segala sumber pengetahaun yang emrupakan manisfestasi dari firman Allah.

D.   Akal sebagai Bagian dari Esensi Sains Islam
Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan akal dengan 4 pengertian : (1) Daya pikir (untuk mengerti), pikiran, ingatan; (2) jalan atau cara melakukan sesuatu, dan upaya, ikhtiar; (3) tipu daya, muslihat, kecerdikan, kelicikan, dan (4) kemampuan melihat atau cara-cara memahami lingkungan (DEPDIKBUD, 1991:15).
Kamus-kamus bahasa Arab memberikan arti akal (secara harfiah) dengan pengertian al-imsak (menahan)22. Sedangkan Ibn Mansur, mengartikan al-aql dengan 6 macam: (1) akal pikiran, Inteligensi, (2) menahan, (3) mencegah, (4) membedakan,(5) tambang pengikat,dan (6) ganti rugi (Taufik Pasiak, 2004:193).
Akal juga sering disamakan dengan al-hijr (menahan atau mengikat). Sehingga seorang yang berakal adalah orang yang dapat menahan diri dan mengekang hawa nafsunya. Kata-kata Hamka----seorang ulama-sastrawan Indonesia----mewakili pengertian itu: mengikat binatang dengan tali, mengikat manusia dengan akalnya (Taufik Pasiak, 2004:193)..
Para sufi memahami kedudukan akal dalam konteks “mengikat”, “melekatkan”, dan “membatasi”. Pilihan makna ini berkaitan dengan penciptaan alam semesta oleh Tuhan. Tuhan dianggap tak terbatas, tak terjangkau. Namun, ketika ia ber-tajalli, maka setiap ciptaan-Nya senantiasa terbatas. Ciptaan itu “mengikat” dimensi Tuhan yang tak terbatas itu. Jadi, akal cenderung berkaitan dengan segala ciptaan Tuhan, bukan Tuhan sendiri maha luas itu (Taufik Pasiak, 2004:194)..
Fungsi “pengikatan” akal tersebut secara ilmiah-filisofis dipelajari dalam semiotika (ilmu tanda) yang begitu popular di kalangan asli sastra. Sebagaimana itu dimaksudkan oleh Ferdinand de Saussure (1857-1913) dan Charles Sanders Pierce (1839-1913), semiotika sangat berguna bagi semua disiplin ilmu. Makna dasar semeion (Yunani), yakni “tanda”, memiliki kaitan erat dengan ayat yang hanya dapat dipahami oleh akal. Akal dalam jenis ini yang oleh Al-Farabi dibedakan dengan intelek (Osman Bakar, 1997:98).
Menurut Al-Raghib Al-Isfahani , kata akal itu juga menunjuk pada potensi” dalam diri manusia  yang disiapkan untuk memperoleh pengetahuan. Kata itu semakna dengan kekuatan berpikir  (al-quwwah  al-‘aqilat), pemahaman  (al-fahm),  tempat berlindung (al-malja’), menahan (mana’ah), hati (al-qlb) dan ingatn (dzakirah) (Taufik Pasiak, 2004:194). Makna dasar dan makna sinonim itu menunjukkan bahwa akal adalah sesuatu yang memang sengaja disiapkan Tuhan dalam diri manusia untuk menjalani kehidupannya didunia, dimana keberhasilan penggunaan akal sangat ditentukan oleh seberapa besar potensi itu diaktualkan.
Toshihiko Izutsu berpendapat (Taufik Pasiak, 2004:199). dari sudut linguistic  (ilmu kebahasan), kata ‘aql adalah kata yang “semitransparan”. Maksudnya, sebuah kata yang belum begitu jelas makna sesungguhnya. Kata Arab telefun dan dimuqratiyyah, adalah kata yang “transparan” dan mudah dimengerti karena diadopsi dari kata inggris telephon dan democracy. Walaupun sejauh menyangkut persoalan telefon, terdapat kata arab hatif yang bersifat “semitransparan”.
Untuk dapat mengerti kata ‘aqi itu, maka ia harus di buat  “transaran”. Kata nouns dalam bahasa yunani diangggap dapat mewakili kata akal yang telah dibuat “tranparan” itu. Nouns itu tepat seklai dimaknai sebagai intelek. Kata “intelek” atau kata akal yang telah ditranparansi itu memiliki makna intelektual dan spiritual. Kata lain yang semakna dengan itu adalah intelectus (latin) dan vernuft (Jerman).
Kata-kata yang disebut diatas itu mennjuk sesuatu yang melebihi penalran logis. Jika kecerdasan praktis, rasio, atau reason menunjuk pada kemmpuan menalar secara logis, dengan langkah-langkah sistematis, yang tentu membutuhkan fakta dan keterlibhatan panca indra, maka ‘aql dalam pengertian intelek (atau nouns) melebihi semua itu (Lorens bagus, 2000:728).
E. Hakikat Akal dan Cara Bekerjanya Menurut Islam (AlQuran)
Dalam Al-Quran, kata akal mendapat kualifikasi religious sebagai keyakinan dan itelektualitas. Seyyed Hossein Nasr (1977), menyebut akal (di dalam kepala) sebagai proyeksi atau cermin dari hati (qaib), tempat keyakinan dan kepercayaan manusia. Dengan itu, bukan hanya instrumen untuk mengetahui, melainkan juga menjadi wadah bagi “penyatuan” Tuhan dan manusia. Teori akal aktif dari Ibn Sina dan Al-Kindi maupun hierarki ilmu dari Al-Farabi dapat menjelaskan hali itu. Dalam diri manusia, akal bersifat potent yang kemudian mewujud dalam bentuk jiwa (spirit). Menurut Rhenis Meister Echart, “didalam jiwa seseorang terdapat sesuatu yang tidak diciptakan dan tidak mungkin dibentuk. Sesuatu itu adalah intellect (Cyril Glasse, 1999).
Dengan mencermati keluasan makna, pada akhirnya secara umum diketahui bahwa penggunaaan kata al-‘aql dalam posisi sebagai kata maupun kalimat mengandung dua potensi dan kecenderungan yang bersifat “rasional dan intuitif”.
Sedangkan, kata dasar al ‘aql tidak ditemui dalm al Quran. Dipakai sebagai kata kerja sebanyak 49 kai, yaitu penyebutan 1 kali dalam bentuk lampau (past tense) dan 48 kali dalam bentuk sekarang (present tense). Penyebutannya meliputi : ‘aqluh 1 kali, ta’qiluun 24 kali, na’qil 1 kali, ya’qiluhaa 1 kali dan ya’qiluun 22 kali (Harun Nasution, 1980:5). Sedangkan, menurut Yusuf Qardhawi penyebutan kata al ‘aql dalam bentuk istifham inkari (pertanyaan retoris) seperti ‘afala ta’qiluun adalah ha yang mencolok dari Al Quran. Itu terjadi karena Al Quran bermaksud menarik perhatian manusia dan bertujuan memotivasi, member semangat, dan mendorong manusia untuk menggunakan akalnya (Taufik Pasiak, 2004:205).
Materi akal atau al ‘aql mengalami pemadatan makna dalam Al Quran disebut sebanyak 49 kali dalam 28 surah, yakni 31 kali dalam 19 surah yang diturunkan di Makka dan 18 kali dalam 9 surah yang diturunkan di Madinah (Taufik Pasiak, 2004:200). Sedangkan, menurut Quraish Shihab, Al Quran menggunakan kata ‘aql untuk “sesuatu yang mengikat atau menhalangi seseorang terjerumus ke dalam kesalahan atau dosa”. Dengan menelusuri ayat yang menggunakan akar kata ‘aql, sesuatu dalam konteks di atas itu dapat dimaknai : (1) daya untuk memahami sesuatu (QS Al-‘Ankabut [29]: 43); (2) dorongan moral (QS Al-‘Anam [6]: 151; dan (3) daya untuk mengambil pelajaran, hikmah, dan kesimpulan (QS Al-Mulk [67]: 10). Missal, ditegaskan dalam Al-Quran:
“Dan perumpamaan-perumpamaan ini kami berikan pada manusia. Dan tiada yang memahaminya (ya’qiluha) kecuali orang-orang yang berilmu”. (QS Al-Ankabut [29]: 43).
 Dalam konteks ayat di atas, perumpamaan yang diberikan Allah berupa sarang laba-laba. Pemisalan itu berkenaan dengan orang-orang yang mencari pelindung selain Alla.. sebagaimana lemahnya sarang laba-laba itu, demikian pula halnya pelindung-pelindung selain Allah. Karena itu, dengan akal pikirannya, manusia diperintah untuk mengambil pelajaran dari sang laba-laba tersebut
1.    Berkaitan dengan dorongan moral, Allah menandaskan:
“……. Demikian itu yang diperintahkan Tuhanmu kepadamu supaya kamu berpikir (ta’qiluun)”. (QS Al-‘An’am [6]: 151)

Kalimat terakhir dari ayat diatas itu menegaskan perintah Tuhan sebelumnya. Perintah itu berkaitan dengan sikap moral seseorang dalam menanggapi perintah-perintah Tuhan.
2. Berbuat baik pada orangtua, membunuh karena takut miskin, dan melakukan perbuatan keji, menurut konteks ayat diatas, hanya dilakukan oleh orang-orang yang tidak bermoral.Orang-orang yang akalnya tidak baik.
3. Berkaitan dengan hikmah dan pelajaran, Allah menegaskan:
“….. dan mereka berkata: “Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (na’qilu) itu niscaya tidaklah kami termasuk penghuni neraka yang menyala-nyala.” (QS Al-Mulk [67]: 10).
           
            Ayat di atas itu hendak memberikan gambaran orang-orang yang mendustai kehadiran para nabi dan rasul yang member peringatan. Mereka dikategorikan sebagai orang yang tidak memamfaatkan potensi akalnya (Quraish Syihab, 1987:294).Tiga contoh ayat diatas dapat menjelaskan makna yang dikandung oleh akal tersebut. Setidak-tidaknya terdapat dua makna yang dapat diambil dari kata akal tersebut: (1) pengertiannya sebagai akal organic, yakni “organ” yang bertanggung jawab bagi kegiatan-kegiatan intelektual dan spiritual manusia.
            Penyamaannya dengan Qalb dalam beberapa ayat Al-Quran dan teori para filosof Islam, terutama untuk fungsi mengerti dan memahami (fungsi kognitif), mendukung makna struktur tersebut. Pengunaan kata “organ” bermakna bahwa akal itu bertempat (lokus). Tempatnya, seperti disabdakan Rasulullah Saw, adalah dalam diri manusia. “Dalam diri manusia ada segumpal daging”, demikian kata Rasulullah. ‘bila daging itu baik, maka baiklah manusia itu. Jika daging itu jelek, jeleklah manusia itu. Daging itu adalah “otak manusia“ (pengganti kata al-Qalb/Kalbu)’, mengapa otak bukan kalbu  seperti yang dipahami selama ini? Karena penelitian-penelitian mutakhir telah membuktikan bahwa otak manusia memiliki tiga fungsi, sebagaimana dijelaskan sebelumny, yaitu 1) fungsi rasional-logis, 2) fungsi emosional-intuitif, dan fungsi spiritual. Fungsi akal adalah menelaah, mengerti, dan mengambil pelajaran atas semua fenomena yang ada. Akal juga berfungsi sebagai dorongan mora yang pertimbangan-pertimbangan etis dimungkinkan. Fungsi dorongan moral tersebut menyebabkan akal menjadi akal menjadi alat ‘pembeda’ antara baik dan buruk. Penemuan tentang daerah pelipis (region temporalis) dan daerah dahi (region frontalis) dalam otak manusia, terutama fungsi untuk membedakan baik dan buruk, memungkinkan kita melihat hubungan selaras otak dan akal manusia (Taufik Pasiak, 2004:203-204)..
            Inventarisasi ayat-ayat Al Quran yang memakai kata akal dapat diklasifikasikan dalam 3 bagian : (1) terkait dengan teologis, terdapat 14 ayat bersangkut paut dengan keimanan,  (2) terkait dengan kosmologis, terdapat 6 ayat menyangkut pemahaman dan keberadaan alam semesta, baik makro maupun mikro,39 dan (3) terkait dengan moralitas, terdapat 1 ayat terutama menyangkut etika pribadi dan etika social.
            Akal menurut Abi Al-Baqa ‘Ayyub ibn Musa Al-Kufi, memiliki banyak nama. Tercatat empat nama yang menonjol: (1) al-lub, karena ia merupakan cerminan kesucian dan kemurnian Tuhan. Aktivitasnya adalah berzikir dan berfikir; (2) al-hujjah, karena akal ini dapat menunjukkan bukti-bukti yang kuat dan menguraikan hal-hal abstrak, (3) al-hijr, karena akal mampu mengikatkan keinginan seseorang hingga membuatnya dapat menahan diri, dan (4) al-nuha, karena akal merupakan puncak kecerdasan, pengetahuan, dan penalaran (Abdul Mudjib, 1999:66).
            Menurut Yusuf Qardhawi, dalam Al Quran akal disebut pula dengan term fu’ad, baik dalam bentuk tunggal maupun jamak. Karena, ia termasuk dalam salah satu dari tiga perangkat pokok ilmu pengetahuan: pendengaran, penglihatan, dan fu’ad (kalbu).
Allah SWT berfirman:
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati (fu’ad), semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya” (QS. Al-Israa : 36).
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur” (QS. An-Nahl : 78).

            Bentuk-bentuk sama “pendengaran”, abshar “penglihatan, dan af’idah “kalbu disebut dalam Al Quran dalam beberapa surat. Begitu juga dengan qlb “hati” sebagai ganti fu’ad juga terdapat dalam beberapa ayat dalam Al Quran. Seperti dalam firman Allah SWT berikut ini :
“Allah Telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. dan bagi mereka siksa yang amat berat.” (QS. Al Baqarah : 7).
“Katakanlah: "Terangkanlah kepadaku jika Allah mencabut pendengaran dan penglihatan serta menutup hatimu, siapakah Tuhan selain Allah yang Kuasa mengembalikannya kepadamu?" (QS. Al An’am : 46).

            Juga disebutkan dalam QS. Al A’raf : 179, QS. An Nahl : 108, QS. Al Israa : 46, QS. Al Kahfi : 57, QS. Al Hajj : 46, QS. Al Jaatsiyah : 23 (Yusuf Qardahawi, 1998:40). Qardhawi melihat kata fu’ad dalam beberapa ayat-ayat tersebut terkait kuat atau meruakan satu kesatuan dengan fungsi pendengaran dan penglihatan yang merupakan fungsi organic dari akal. Sedangkan fu’ad dan af’idata, af’idatti, af’idatu” yang lain dan tidak tersirat dalam fungsi organic akal, tercantum dalam Al Quran seperti : QS. 147:37, QS.23:78, QS.32:9, QS.46:26, QS.67:23, QS.104:7, dan QS.6:113 dan QS.28:10, QS.53:11, QS.11:120, dan QS.25:32 tidak dijelaskan oleh Qardhawi.
            Disamping menggunakan kata jadian dari akal, Al-Quran juga menggunakan beberapa kata, yang berada dalam medan semantik43 kata ‘aql, untuk menyebut kegiatan mengerti, memahami, mengingat, dan merenungkan. Kata-kata itu memiliki makna yang hamper sama,tetapi berbeda pada segi yang lain. Semuanya membawa satu makna, namun penekanan masing-masing kata itu berbeda.
            Terdapat tujuh sinonim kata akal itu : (1) ‘dabbara’ (merenungkan), (2) faqiha (mengerti), (3) fahima (memahami), (4) nazhara (melihat, dengan mata kepala), (5) dzakara (mengingat), (6) fakkara (berpikir secara dalam), dan (7) alima (memahami dengan jelas)44. Selain tujuh kata itu, masih ada kata-kata lain yang, dari segi fungsi yang ditunjukkkannya, memiliki kemiripan dengan kata akal. Yang paling mendekati adalah kata al-qlb (dalam pengganti fu’ad dan dikaitkan dengan fungsi organic akal), seperti yang sudah dijelaskan Qardhawi sebelumnya diatas.
            Dalam bahasa Persia dan Urdu, kata al-qalb disebut ‘del dan dalam bahasa Inggris disebut ‘Heart’. Dalam bahasa Arab, al-Qalb diartikan secara beragam. Ia juga diartikan organ kenyal yang berada di samping kiri dada. Kata Qalb juga diartikan jantung. Dalam Al Qur’an, kata Qalb digunakan untuk menunjuk kepada sesuatu yang berfungsi sebagai pengendali pikiran dan kehendak, yang kita sebut akal. Dalam al-Kafi, kata Qalb dalam surah Qaf ayat 37 ditafsirkan sebagai akal (al’aql). “sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan (dzikra) bagi orang-orang yang mempunyai qalb” ((Taufik Pasiak, 2004:207)..
            Berikut ini beberapa contoh lain dalam Al Quran tentang al Qalb yang memiliki arti secara tersirat dengan kata akal (Taufik Pasiak, 2004:209)., yaitu :
Contoh ayat diatas memperlihatkan bagaimana sinonim kata ‘aql,juga dipakai untuk melukiskan pekerjaan-pekerjaan akal manusia. Luas dan banyaknya pilihan kata (diksi) ini menunjukkan tingkatan-tingkatan berpikir. Dari yang sederhana, seperti melihat dan berpikir praktis, sebagaimana diwakili oleh kata nadzar, sampai pemikiran-pemikiran yang mendalam, seperti diwakili kata fakkara. Bahakan, lebih dari sekedar berpikir, manusia disuruh untuk mengambil pelajaran dan merenungkan apa yang dipikirkannya, sebagaimana ini diwakili oleh kata dabbara, tadabbur.
            Tema-tema lainnya yang berada dalam medan semantic kata akal sebagaimana dipakai dalam Al Quran diantaranya adalah:
a)       Kata Al Fikr. Dalam bahasa Indonesia kata ini menjadi “pikir” dan “pakar” berasal dari Al Fikr yang dalam Al Qur’an menggunakan istilah fakkara dan tafakkarun. Menurut Quraish Shihab, kata “fikr” berasal dari kata “fark” dalam bentuk “faraka” yang dapat berarti : (1) mengorek sehingga apa yang dikorek itu muncul, (2) menumbuk sampai hancur, dan (3) menyikat (pakaian) sehingga kotorannya hilang. Salah satu bentuk berfikir adalah tafakur. Kata ini telah mengalami pemadatan makna melibihi sekedar makna harfianya, sebagaimana yang diungkapkan oleh Al Fudhal bahwa tafakur adalah cermin yang akan memperlihatkan padamu kebaikan dan keburukanmu.Ibnu Qayyim Al-Jauzy juga berpendapat bahwa bertafakur ,erupakan pekerjaan hati yang paing utama dan paling bermamfaat. Kegiatan berpikir yang diselingi dengan refleksi berupa tafakur akan mengarahkan seseorangkepada kedalaman makna obyek ilmu pengetahuan. Dengan bertafakur dapat dipahami adanya hubungan yang erat antara “pikiran” dan “perasaan” hubungan antara fikr dan dzikr.
Kata Al Dzikr. Hanna Kassis (1983) melihat hubungan organic antara fikr dan dzikr melalui penelusuran kata fakkara. Kata itu, disamping bermakna seperti disebut di atas, juga mengandung arti to reflect (merenung) sehingga dalam proses berpikir terkandung juga kegiatan yang bersipat refleksi (permenungan) terhadap obyek yang dipikirkan itu. Ketika seorang berpikir, ia tidak hanya memperoleh informasi (data-data atau fakta-fakta) saja. Ia juga dan ini yang paling utama memperoleh hikmah dan kebijaksanaan. Banyak orang memiliki ilmu, tetapi sedikit saja yang memiliki kebijaksanaan. Dan seutama-utamanya berfikir adalah berpikir menu hikmah itu. Semakin dalam seorang berpiir, semakin tajam kekuatannya, dan itu berarti semakin bijaksanalah dia. Al Qur’an berulang-ulang menandaskan bahwa hikmah itu dapat diberikan kepada siapa saja. Siapa yang telah memperoleh hikmah, ia seseungguhnya telah diberi nikmat yag banyak (QS Al Baqarah [2]: 269). Tadzakkur adalah salah satu tugas akal yang paling tinggi. Dan dzakariah (ingatan) adalah tempat penyimpann pengetahuan dan informasi yang diperoleh manusia untuk dipergunakannya pada saat dibutukan. Manusia, menurut Qardhawi, tidak bias hidup tanpa tadzakur dan dzakariah. Entah di dunia, entah di akhirat.
Ada perbedaan penekanan makna antara tafakkur dan tadzakkur. Untuk memperoleh pengetahuanbaru dan segar, maka tafakur diperlukan. Sedangkan untuk mengingatnya, supaya tidak lupa dan lalai, tadzakkur diperlukan. Imam Al-Ghazali mempertegas posisi keduanya, “Setiap orang yang berpikir adalah ber-tadzakkur namun, tidak setiap ber-tadzakkur itu berpikir.”
b)       Kata ‘Ilm. Dari semua pekerjaan akal, akar kata ‘ilm dan kata turunannya paling banyak disebut. Menurut Quraish Shihab ada sekitar 854 kali disebut. Istilah ini terdapat dalam surah Makkiyah dan Madaniyah secara seimbabng dengan semua kata jadiaannya: sebagai kata benda, kata kerja, atau kata keterangan.
Kata itu digunakan dalam arti proses pencarian pengetahuan dan obyek pengetahuan. Dari segi bahasa, ‘ilm berarti kejelasan. Setiap turunannya termaktub makna “kejelasan” itu. Misalnya, ‘alam (bendera), ‘ulmat (bibir sumbing, a’alam (gunung-gunung), ‘alamat (alamat). Tiap-tiap kata itu menjadi penjelas bagi apa yang ditunjuk. Misalnya, gunung menjadi jelas karena lansung terlihat pada bibir seseorang.
Makna dasar lain kata ‘ilm adalah, menjangkau sesuatu sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Ia juga dipakai untuk menyebut suatu pengenalan yang sangat jelas terhadap suatu objek. Karena itu, menurut pandangan AL Qur’an, seseorang yang menjangkau sesuatu dengan benaknya, tetapi jangkauannya itu masih disertai keraguan, maka ia tidak bias disebut sebagai orang yang mengetahui apa yang dijangkaunya itu. Kondisi ini bukan’ilm, tetapi zhann. Secara semantic, jalan yang dilalui kata ‘ilm sedikit berbeda dengan kata ‘aql. Bila kata ‘aql mengalami pemadatan makna dalam makna dasarnya, maka kata ‘ilm justru dalam makna relasionalnya. Makna dasar kata ‘ilm samapada setiap system yang memakainya, baik pra-Islam, Al Qur’an, maupun teologi Islam. Namun, makna relasionalnya menjadi berbeda sejauh menyangkut sumber ilmu itu sendiri.
c)       Kata Nazhar. Kata ini oleh Quraish Shihab, diartikan sebagai “nalar”. Kata ini digunakan secara tegas sebagai “memandang dengan mata kepala dan mata hati”. Secara harfiah, kata itu dekat dengan akata al fahsu (penyelidikan) atau kontemplasi (al-ta’ammul). Juga semakna dengan melihat (ra’yu) dan memandang dengan mata (basher). Secara istilah, ia menggambarkan proses pengertian terhadap sesuatu hal atau objek. Mulal-mula melalui pandangan mata (kepala) yang memaksa seseorang memperhatikan suatu objek. Setelah itu, ia akan berpikir untuk meyakinkan dirinya tentag kebenaran objek tersebut. Mungkin makna itu dapat diwakili oleh kalimat pleonastic berikut : melihat dengan mata kepala sendiri. Seseorang akan betu-betul yakin terhadap sebuah objek jika ia melihat secara langsung dengan mata kepalanya sendiri. Metode empiris dalam ilmu pengetahuan dapat dijelaskan melalui penelusuran kata “nazhar” itu. Pengetahuan yang dihasilkan melalui metode ini cukup akurat, karena telah melalui penyelidikan yang mendalam (al-ma’rifat hashila al-ba’da’ fahshi).
d)       Kata al Albaab atau ‘uqul adalah bentuk jamak dari term ‘lubbu’ artinya ‘isi’. Yaitu antonym dari ‘kulit’. Seakan-akan Al Qur’an ingin menunjukkan bahwa manusia terbagi atas dua bagian yaitu kulit dan isi. Bentuk fisik bagian luar manusia adalah ‘kulit’ sedangkan ‘isi’nya manusia adalah ‘akal’. Menurut Imam al-Biqa’I berkata, “Albab adalah yang member mamfaat kepada pemiliknya dengan memilah sisi substantial dari kulitnya”. Al Harali berkata, “Ia adalah sisi terdalam akal yang berfungsi untuk menangkap perintah Allah dalam hal-hal yang dapat diinderai, seperti halnya sisi luar akal yang berfungsi untuk menangkap hakikat-hakikat mahkluk, mereka adalah orang-orang yang menyaksikan Rabb mereka melalui ayat-ayatnya (lihat tafsir Nuzhumud Dhuhar [3/32]). Term, ‘ulul albaab atau ulil albaab’ terulang dan disebut dalam Al Qur’an sebanyak 16 kali, 9 diantaranya dalam ayat-ayat Makkiyah, tujuh lainnya terdapat dalam ayat-ayat Madaniyah. Empat ayat Madaniyah diantaranya dengan redaksi memanggil “yaa uil-albaab” yaitu : 1). QS al Baqarah [2]: 179, 2) QS. Al Baqarah [2]: 197, 3) QS al Maa’idah [5]: 100, dan 4) QS al Thalaq [65: 10-11.
  











BAB III
PENUTUP


Dari uraian tersebut dapat di simpulkan epistemologi pada hakekatnya adalah membahas tentang pengetahuan, apa itu pengetahuan, dan bagaimana memperoleh pengetahuan. Epistemologi menurut Islam adalah pengetahuan dikatakan pengetahuan jika pengetahuan itu menjadi ilmu yang bermanfaat bagi manusia untuk kebagiaan hidup di dunia dan akherat, bermanfaat bagi diri dan orang lain serta dengan ilmu pengetahuan tersebut mendekatkan dirinya kepada Allah. Untuk mendapatkan ilmu menurut islam adalah dengan mempergunakan panca indra, akal dan hati untuk melihat, mencermati dan menneliti ayat-ayat Allah baik yang qauniyah maupun yang qauliyah, yang tersirat dan tersurat. Dean semua itu dibingkai dengan keimanan dan kendali wahyu.
Epistemologi menurut Barat adalah pengetahuan dianggap sebagai ilmu jika dapat dibuktikan kebenaranya, ada kesesuaian antara konsep kerangka dalam akal dengan realitas di luar akal. Jadi segala sesuatu pengetahuan akan dianggap ilmujika dapat dibuktikan dengan metode ilmiah, dengan pola deduktif serta ada kesesuaian dengan konsep didalam akal dengan kenyataan di luar akal. Menurut paham sekuler sesuatu dianggap ilmu tanpa harus memperhatikan manfaat ilmu bagi manusia, yag pasti dapat dibuktikan dengan metode ilmiah maka hal itu dianggap ilmu. Sumber pengetahuan menurut paham sekuler adalah akal, akal adalah segala sumber pengetahuan manusia. Selain akal sumber pengetahuan manusia adalah melalui pengoptimalan panca indra, semakin banyak mempergunakan panca indar maka manusia akan makin banyak pengalaman dan dari pengalaman tersebut akan di proses di otak yang pada akhirnya akan menjadi pengetahuan. Pengoptimalan akal dan panca indra juga dilakukan dalam rangka menemukan kebenaran dan ilmu dengan menggunakan metode ilmiah. Dengan metode ilmiah manusia dapat menemukan kebenaran dan ilmu.
Sedangkan, akal pada prinsipnya menurut Islam berdasarkan wahyu merupakan potensi atau bagian dari manusia yang berfungsi untuk mendapatkan kebenaran atau pengetahuan termasuk kebenaran Ilahiah atau metafisik. Proses bekerjanya, secara biologis dan psikis, tidak dijumpai penjelasan detai dalam Al-Quran. Namun dapat ditangkap dari isyarat al-Quran bahwa cara bekerjanya akal tidak dapat dipisahkan dengan fu’ad yang ditemukan dalam beberapa ayat (Al Quran). Fu’ad bermakna penglihatan dan pendengaran. Selain itu, memahami cara bekerjanya akal dapat ditelusuri dari sejumlah terma yang semakna dengan akal yang ditemukan dalam Al-Quran, misalnya, tadhabbara, alzikr, al-ilm, dan lain-lain. Jelasnya, akal bekerja pada wilayah kegiatan mengingat, mengerti, memahami, dan merenungkan suatu objek.

DAFTAR PUSTAKA


Al Quran Al-Karim

Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama,Jakarta:Logos Wacana Ilmu,1999.

Endang Saifuddin Anshari, Ilmu, Filsafat, dan Agama, Surabaya:Bina Ilmu: 1982.

Hardono Hadi, Epistemologi;Filsafat Pengetahuan, Yogyakarta: Kanisius,1994.

Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2203.

 M. Solihin, Perkembangan Pemikiran Filsafat dari Klasik HinggaModern, Bandung: Pusataka Setia,2007.
M. Zainuddin, Filsafat Ilmu Perspektip Pemikiran Islam, Jakarta: Lintas Pustaka: 2006.

A.      Qodri Azizy, Pengembangan Ilmu-Ilmu Keislaman, Jakarta: Dipertais Agama RI, 2003.

 Suparlan Supartono, Filsafat ilmu Pengetahuan, Jogjakarta:Ar-Ruzz Media,2005.

Taufik Muhammad Izzuddin, Dalil Anfus Al Quran dan Ebriologi, Solo;Tiga Serangkai, 2006
--------------------, Manajemen kecerdasan,Bandung:Mizan, 2006.

Taufik Pasaik, Brain Management for self Improvement, Bandung:Mizan, 2007.

Yusuf Qardhawi, Al Quran Bicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan,jakarta:Gema Insani Press, 1988.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar